Pernah dengar
nama Virus 1918? Sebagian besar manusia mengatakan, dinamai 1918 karena di
tahun itu virus tersebut menjadi penyebab punahnya separuh peradaban manusia di
Benua Eropa. Ada potongan fabel menarik yang diceritakan oleh Tauhid Nur Azhar
dalam bukunya Clink your life, “Namaku Virus 1918. Aku tidak memiliki enzim
untuk bereproduksi, tetapi manusia menyediakannya. Aku tidak memiliki
mitokondria untuk menghasilkan tenaga, tetapi manusia meminjamkannya. Aku tidak
memiliki kaveling untuk membangun rumah tempat bernaung, tetapi manusia juga
rela menyiapkannya. Itulah aku si Virus 1918 yang akan selalu ada dan hadir
seumur semesta.”
Setiap orang
jika hanya menggunakan mata telanjang tidak akan mampu melihat makhluk biologis
ber sel tunggal dengan strukturnya yang sangat sederhana ini. Namun, ternyata
makhluk yang selnya hanya terdiri atas lapisan protein dan asam nukleat RNA
atau DNA ini mampu membuat kepanikan yang luar biasa pada umat manusia. Para dokter
dan ahli pun berusaha menemukan antivirus untuk menangkal 1918 ini demi keberlangsungan
hidup manusia lainnya. Kemudian timbul sebuah tanda tanya besar pada kebanyakan
orang, apa makna dihidupkannya virus oleh Tuhan di dunia ini. Yang dengan
ganasnya mematikan banyak manusia, entah yang beradab maupun yang biadab.
Siapapun orang bisa dimatikan Tuhan dengan menyebarkan virus 1918.
Disinilah tiap
manusia diajarkan sebuah kebajikan. Belajar memaknai kehidupan. Pribadi nan
selalu didominasi oleh positive attitude,
akan mampu melihat kebaikan di segala hal. Dalam warna kehidupan, ibarat sebuah
mata rantai, bundar dan berputar. Baik buruk, hidup mati, senang susah, lapang
sempit, semua diatur seimbang oleh Tuhan. Budayawan Sujiwo Tejo dalam akun
Twitter Jack Separo Gendengnya pernah menuliskan, “Kalau semua makmur, gak ada gelandangan, gak ada mayat terlantar, mahasiswa
kedokteran praktek mayat
kadafernya dr mana?
#Sastrajendra.” Karena memang #Tuhan Maha Asyik.
Dalam National
Geographic disebutkan, 80 tahun dari munculnya virus 1918 para ilmuan menemukan
data di pusat riset kesehatan angkatan laut AS. Secara tidak sengaja terlihat
irisan dari tubuh korban yang meninggal akibat wabah virus 1918. Kemudian pakar
patologi juga berhasil menemukan seonggok mayat yang telah lama tertimbun di
dalam tanah di Alaska, paru – paru dari mayat tersebut digunakan untuk
dijadikan sebagai spesimen. Peneliti lain berhasil menemukan mayat yang
tertimbun di dalam lapisan tanah membeku yang tingkat pembusukannya lebih
rendah. Akhirnya didapat kesimpulan bahwa wabah flu yang membunuh manusia pada
1918 ditularkan oleh unggas atau burung pada manusia. Lalu, berapa harga
keilmuan, berapa sumbangan pendapat para pakar dan ahli dibidangnya, dan berapa
ratus juta perkembangan pengetahuan yang didapatkan bagi banyak manusia
sekarang dari wabah yang terjadi lebih dari 80 tahun silam? Mungkin tak ada
antivirus yang bakal ditemukan untuk menyelamatkan kita dari bermacam virus
yang tersebar di sekeliling kita.
Mata rantai
yang terkecil adalah mata rantai yang terkuat. Sebesar dan sekuat apapun mata
rantai, tak kan bisa terangkai kokoh tanpa ada mata rantai-mata rantai kecil
yang tersusun untuk menghubungkan dan menyatukannya. Tanpa ada virus 1918, para
ahli tidak akan tergerak hati untuk menemukan cara menangkal makhluk biologis
sederhana yang mematikan itu. Keberhasilan para ahli adalah buah dari ratusan
bahkan ribuan usaha yang tak kenal lelah dan pantang mundur.
Sudahkah kita
mensyukuri hidup kita? Karena syukur adalah mata rantai terkuat. Positive attitude, berpikir positif,
serta melihat kebaikan disegala hal adalah bagian yang terpenting dalam mata
rantai kebermaknaan hidup. Jika kita mampu menikmati keseimbangan yang dikonsep
oleh Tuhan, hidup kita pun akan mencapai kebahagiaan maksimal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar