Senin, 23 Juli 2012


BUDAYA PEMBUATAN
COK BAKAL DI DUSUN SALAMAN


BAB I
PENDAHULUAN
I.                   Latar Belakang
Di zaman yang modern ini sangat jarang ditemui orang yang membuat acara-acara budaya jawa seperti membuat sesaji, cok bakal, kondangan, serta budaya kejawen lainnya. Baik itu kaum tua apalagi kaum muda yang berada di kota seperti sekarang ini. Mendengar istilah kondangan, cok bakal, dan lain sebagainya mungkin belum pernah, apa lagi untuk melakukannya.
Jangankan mengetahui kebudayaan yang ada, mendengar beberapa istilahnya saja sangat jarang. Bahkan belum pernah didengar oleh orang kota atau kaum muda saat ini. Karena hal itulah, menjadikan alasan bagi penulis mengangkat permasalahan ini agar masyarakat menjadi paham tentang berbagai kebudayaan di Indonesia, khususnya “Cok Bakal” dengan penulis melakukan studi kasus sebagai pemenuhan tugas mata kuliah Metodologi Studi Islam yang di ampu oleh Bp, Muh Latif Fauzi, M.Si.
Beberapa istilah budaya jawa oleh beberapa orang dianggap merupakan istilah yang unik. Dalam hal ini ialah budaya “Cok Bakal” jarang didengar dan merupakan istilah unik. Selain itu, orang dulu membuat cok bakal pasti ada maksudnya serta tersimpan tujuan dan makna filosofis di dalamnya. Menjadi sebuah tanda tanya besar juga bagi kaum muda mengenai apa dan seperti apa itu cok bakal. Hal tersebut akan dibahas dalam studi kasus kali ini.

II.                Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, timbul beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Seperti apa kebudayaan cok bakal itu?
2.      Bagaimana kebudayaan cok bakal dalam pandangan islam?

III.             Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dalam studi kasus ini adalah sebagai berikut:
1.      Mengetahui tentang kebudayaan cok bakal.
2.      Mengetahui tentang kebudayaan cok bakal dalam pandangan islam.

IV.             Manfaat
Dalam studi kasus yang dilakukan kali ini, dapat menambah pengetahuan serta minimal mencerdaskan bagi mahasiswa mau pun masyarakat saat ini. Sehingga bagi yang belum mengetahui apa itu cok bakal menjadi paham. Manfaat lain bagi para pembaca adalah mampu memilah antara budaya apa yang boleh dilestarikan dengan budaya yang bisa menjerumuskan kita kepada hal-hal kemusyrikan.

BAB II
PEMBAHASAN

I.              Pengertian dan Asal Mula Cok Bakal
Studi kasus yang dilakukan sebagai tugas Metodologi Studi Islam kali ini adalah kebudayaan yang masih ada namun hampir hilang di Dusun Salaman, Desa Pablengan, Kecamatan Matesih, Kabupaten Karanganyar. Di dusun ini  kaya akan pertanian dan perkebunan. Hampir seluruh warga memiliki pohon durian di kebun atau halaman rumah. Meskipun industrialisasi mulai terasa di dusun ini, namun masih banyak warga yang bermatapencaharian sebagai petani. Dusun ini mempunyai alam yang bersih, tanah subur, serta air tercukupi. Warga mendapatkan air bersih dari mata air yang berasal dari bukit yang berada di sebelah timur dusun ini. Pengairan untuk sawah juga berasal dari mata air dan sungai yang ada.
Beberapa warga Dusun Salaman masih ada yang mempertahankan tradisi yang ada, dalam hal ini adalah tradisi membuat cok bakal. Cok bakal adalah suatu sesaji yang dibuat guna mendapatkan keselamatan dan keberkahan dari Tuhan serta terhindar dari malapetaka. Kepercayaan yang ada adalah manakala seseorang itu tidak memberikan sesaji kepada danyang atau yang diyakini sebagai makhluk yang menunggui di suatu wilayah, maka akan terjadi musibah. Agar terhindar dari musibah maka seseorang perlu membuat sesaji yang disebut cok bakal tersebut. Wujud dari cok bakal yaitu daun pisang yang dibentuk menjadi sebuah wadah yang kemudian diisi berbagai macam bumbu dapur seperti tembakau, suruh, kelapa, injet, cabai, bawang putih, bawang merah, beras, daun dadap serep, gula, telur, jenang merah, jenang putih, bunga, miri, uang dan lain sebagainya. Tidak semua cok bakal berisi lengkap seluruhnya seperti yang disebutkan di atas. Hanya berisi beberapa saja sudah bisa disebut cok bakal. Tergantung kebutuhan pembuatnya.
Dalam studi kasus ini, penulis melakukan wawancara kepada beberapa narasumber. Salah satunya ialah hasil wawancara dengan Ibu Pawiro yang berusia sekitar 90 tahun bahwa terdapat makna atau arti filosofis dari istilah yang disebut cok bakal ini. Cok bakal berasal dari istilah cikal bakal. Jadi cikal bakal dari segala keberhasilan yang terjadi disebabkan pembuatan cok bakal. Sehingga dari pembuatan cok bakal dapat memberi keselamatan, keberkahan, dan terhindar dari berbagai macam kesulitan.
Penulis juga melakukan wawancara kepada Bp. Yoso Taruno untuk mendapatkan informasi yang lebih banyak lagi. Beliau berusia sekitar 95 tahun. Beliau menyebutkan cok bakal dibuat untuk sesaji kepada danyang dalam berbagai acara agar nantinya bisa lancar dan selamat. Cok bakal dibuat dalam berbagai acara seperti, ketika akan mendirikan rumah. Untuk mendirikan rumah dibutuhkan 10 cok bakal karena keempat sudut rumah harus diberi cok bakal dan ditambah lagi tengah rumah. Setiap cok bakal ada pasangannya, yang satu menggunakan jenang merah dan yang satu menggunakan jenang putih. Sehingga jumlah total yang dibutuhkan adalah 10 cok bakal. Yang kedua, cok bakal juga dibuat ketika akan ada hajatan. Jumlah cok bakal yang dibutuhkan sama dengan ketika akan membuat rumah yaitu 10 buah cok bakal. “Majepat limo pancer”, itulah istilah untuk cok bakal yang di tempatkan pada lima tempat itu. Ketiga, cok bakal dibuat ketika akan memulai menggarap sawah dan memanen padi. Cok bakal ditempatkan di keempat sudut sawah tersebut. Keempat, cok bakal juga dibuat untuk tebusan manakala ada orang sakit. Untuk menebus orang sakit tidak sama dengan ketika membuat rumah, hanya dibuat sepasang cok bakal saja, yaitu yang menggunakan jenang merah satu dan yang menggunakan jenang putih satu. Di buat cok bakal tersebut supaya orang yang sakit bisa segera sembuh.
Penulis juga mencoba mencari tahu tentang asal mula tradisi membuat cok bakal kepada bapak yang sama yaitu Bp. Yoso Taruno. Namun belum bisa diketahui asal mulanya karena beliau mengakui mungkin karena kebodohan seseorang atau sebab yang lain. Orang-orang yang membuat cok bakal dan melakukan tradisi yang dijalankan, diakui oleh Bp. Yoso Taruno juga hanya meniru dari apa yang dilakukan oleh nenek moyang-nenek moyangnya. Kemudian dipercayai dan dijalani begitu saja.

II.           Perkembangan Cok Bakal
. Di zaman yang modern ini berbagai adat budaya maupun  kepercayaan yang berasal dari nenek moyang sedikit demi sedikit mulai pudar. Masyarakat sekarang khususnya kaum muda dan berpendidikan mulai memilah dan meninggalkan adat yang bertentangan dengan ideologinya meskipun adat tersebut telah berlangsung turun-temurun dari nenek moyangnya. Terlihat bahwa di beberapa desa sekali pun, yang dahulu sangat kental dengan adatnya, tinggal orang tua-orang tua saja yang masih konsisten mempertahankan adat kebiasaannya. Kaum muda sangat jarang terlihat mengikuti atau melakukan budaya-budaya jawa seperti membuat sesaji, cok bakal, kondangan, nyadran serta budaya kejawen lainnya. Terlihat lagi bahwa cok bakal saat ini tidak begitu dipahami oleh beberapa kalangan masyarakat.

III.        Cok Bakal dalam Perspektif Islam
Setelah kita mengetahui apa itu cok bakal, bagaimana wujud, maupun makna filosofis istilah cok bakal, maka kita akan melihat perspektif islam dalam memandang budaya cok bakal ini. Diakui bahwa kebanyakan orang-orang membuat cok bakal untuk keselamatan dan sarana mendekatkan diri pada Tuhan hanya mengikuti dari nenek moyang yang belum diketahui dasar yang jelas. Hal tersebut bertentangan dengan ajaran islam yang mengajarkan setiap peribadatan asalnya adalah dilarang kecuali ada perintahnya. Dan perintah itu berasal dari sumber yang tidak dapat diragukan, yaitu Al Qur’an dan Hadits.
Pandangan dari tokoh masyarakat di Dusun Salaman juga mengatakan bahwa cok bakal bukan berasal dari ajaran Islam. Akan tetapi cok bakal berasal dari kebudayaan Agama Hindu. Karena di dalam Agama Islam tidak ditemukan tuntunan mengenai cok bakal.


BAB III
KESIMPULAN
Dari studi kasus yang telah dibahas diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan, yaitu:
1.      Cok bakal adalah suatu sesaji yang dibuat guna mendapatkan keselamatan dan keberkahan dari Tuhan serta terhindar dari malapetaka. Sesaji itu berwujud wadah yang terbuat dari daun pisang kemudian di isi dengan berbagai macam bumbu dapur.
2.      Kebanyakan orang-orang membuat cok bakal untuk keselamatan dan sarana mendekatkan diri pada Tuhan, akan tetapi hanya mengikuti dari nenek moyang dan belum diketahui dasar yang jelas. Jika dihubungkan dengan ajaran islam yang mengajarkan setiap peribadatan asalnya adalah dilarang kecuali ada perintahnya, maka cok bakal belum diketahui dasar jelas dari agama sehingga kita tidak perlu menjalankannya.

Kamis, 05 Juli 2012


MEMAKNAI UJIAN

Kadang aku mengeluh “Ahh, ujiannya sulit!,” “Ahh, waktunya kurang!”. Namun, ketika ku coba pahami kriteria ujian menurut Ust Solikhin Abu Izzudin dalam bukunya the way to win, bahwa ternyata ujian itu memang harus sulit. Yup, memang harus sulit. Masih g percaya? Mari kita pahami kriteria ujian:

1.       Ujian Harus Sulit. Kalau mudah atau dimudah-mudahkan, tentu nggak menantang. Ngak Asyik dan nggak beda, antara yang lulus dan yang lolos, yang lurus dan yang bolos: yang serius dan yang ceplas ceplos, yang tulus dan yang melengos; yang belajar terus dan yang bikin chaos. “Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.”

2.       Ujian Bukan Mustahil. Bisa ditempuh, asal sungguh-sungguh. Bila ujian itu mustahil tentu tidak berguna, tidak bisa untuk membedakan antara prestasi dan frustasi. “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (Al Baqarah:286)

3.       Ujian Harus Seimbang. Sulit bagi pecundang tapi mudah bagi pemenang. Hukum Allah berlaku. Kesuksesan bagi pejuang. Kebahagiaan bagi pahlawan, mereka aktif mencari pahala. “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari Keridhaan) Kami, benar-benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik” (Al Ankabut: 69)

4.       Tak Ada Kemenangan Tanpa Ujian. Mau nggak engkau diberi ijazah Sarjana tanpa harus kuliah? Tanpa Skripsi, yang penting bayar aja 10 juta langsung dapat gelar S-1? Kalau mau, kasihan. Menurut para pendaki. Bukan di puncak gunung itu yang nikmat, tetai perjalanan mendaki itulah yang paling nikmat (*q pikir2 memang bener, cz aq jg sering ndaki.. tp dulu :D Hhe..). Menurut para pengantin baru, bukan malam pertama yang nikmat, (*Sleketep:) namun penantian “puasa syahwat” itulah yang membuat malam pertama lebih nikmat. (*klo ini aq g tau, cz aq blum ngrasain malam prtama.. Upz, Hhehe:D….)

_Ahmadheaven